Selasa, 31 Maret 2015

Saya Suka April




Besok tanggal satu April.

Sejak saya suka mengarang waktu SMP, bulan April menjadi istimewa karena di bulan ini saya biasanya sangat produktif. Waktu itu saya tinggal di Bogor, sekolah di SMP Mardi Yuana, tiap hari pergi pulang cukup hanya jalan kaki. Saya banyak membuat sajak, membuat gambar kartun, membuat cerita pendek, membuat komik. Juga membuat sebuah cerita yang panjang yang kemudian setelah saya menikah diterbitkan menjadi buku dengan nama samaran. Majalah Intisari adalah yang pertama memuat gambar kartun saya.  Saya menjadi juara kedua lomba cerpen anak yang diselenggarakan majalah Mutiara, saya ingat juara pertamanya pengarang terkenal Donggo Hutagalung, hadiahnya setumpuk buku. Saya tidak ingat apakah cerpen anak ini saya buat juga di bulan April.

Saya suka April karena akan selalu mengingatkan saya kepada istri saya. Waktu kami pacaran dia sangat suka dengan lagu "Tetes Hujan di Bulan April" dari Favourite's Group. Dia mencatatkan lirik lagu itu dalam surat cintanya, mungkin untuk membalas sajak cinta saya untuknya. Dia tidak bisa mengarang, tidak peduli seni-senian, tapi sangat sayang kepada saya. Menurutnya (entah bagaimana) lirik lagu ini cocok dengan kami, "Kita berdua senasib dan serupa penderitaan." Sekarang saya mengerti bahwa itu sebuah ramalan, kami bersama-sama mengalami puluhan tahun dalam untung dan malang.

Saya suka April karena Paskah. Karena seperti judul sebuah buku tipis yang berbunyi (seingat saya), "Seorang yang Harus Kamu Hampiri", berisi kisah Injil dalam bahasa yang sederhana, saya menemukan-Nya. Saya dibabtis Katolik pada waktu SMP kelas 2. Saya menjadi putra altar pertama kali di waktu hari raya Paskah. Setahun kemudian saya ditenteng pastor bule ke luar pastoran dan ditendang pantat saya karena kepergok mengintip lubang kunci kamar bruder kesayangan saya. Ini kecelakaan, bukan kenakalan, tapi pastor kepala yang baru ini (dan saya belum kenal) tidak mau mendengarkan penjelasan anak kecil (sejak bayi mungkin saya sudah kurus kerempeng).

Saya suka April karena April Mop. Saya mengenal April Mop pertama kali juga waktu saya SMP. Di kelas saya duduk di bangku baris kedua dari depan. Padahal kelas dibagi dua, setengah dari depan untuk anak putri, setengahnya ke belakang untuk putra. Saya terselip di antara anak putri karena saya kecil berkaca mata, suka bolak balik ke papan tulis ketika mencatat pelajaran waktu saya didudukkan di barisan tengah. Jadi, teman sekitar saya para perempuan dan mereka mempraktekkan April Mop kepada saya. Saya lupa apa kasusnya tapi saya percaya begitu saja dan saya jadi bahan tertawaan sampai saya menjadi marah. Seorang teman putri tak tega dan menerangkan saya tentang April Mop. Saya memang suka padanya karena kebaikannya (mungkin cinta monyet). Saya suka kenangan ini, tapi saya tidak suka April Mop.
http://id.wikipedia.org/wiki/April_Mop

Saya suka April karena ada yang berulang tahun di rumah kami, yaitu anak yang kedua. Dia anak tengah dari tiga bersaudara. Isterinya baik, cantik, cerdas dan sederhana.  Mereka telah memberikan seorang cucu cantik, pintar, dan hebat yang sudah sekolah TK. Kami serumah. Dia yang memberi makan saya (dan saya menraktirnya jika ada yang membeli lukisan saya). Terima kasih, nak. Selamat ulang tahun, salam bahagia dan GBU selalu.

Saya suka April karena masih musim hujan. Waktu SD saya diajarkan guru bahwa pada nama-nama bulan yang berhuruf 'r' adalah musim hujan. Saya suka sekali saat hujan datang, rintik gerimis, dan aroma tanah yang meruap. Saya suka memandang hujan, selalu ada puisi padanya. Hujan adalah cinta yang membasahi bumi.

Saya suka April karena cinta. Saya mengenal Pat Boone waktu bocah sebelum saya sekolah. Radio di rumah yang disetel orang tua juga menjadi sahabat saya. Saya suka lagu "April Love", Setelah dewasa baru saya dapatkan keseluruhan liriknya. Begini penutupnya,

"So if she's the one don't let her run away."

Senin, 30 Maret 2015

Saya Ingin Seperti Emmy Go



Saya suka berkenangan. Saya suka masa kecil.
Nenek saya yang paling bawel (sekarang saya tahu dia paling cerdas di antara tiga nenek) selalu berpesan setelah mengomel, agar saya  bisa 'menjadi orang'. Maksudnya agar setelah dewasa saya menjadi orang sukses dan kaya raya. Inilah doa di ujung omelan untuk cucu yang sedang nakal. Saya seorang penurut, selalu mau kelihatan anak manis. Kakak saya yang anak sulung sangat keras kepala. Nasihat nenek untuk 'jadi orang' melekat padanya, mungkin karena dia lebih banyak kena omelan daripada saya. Di usia yang beranjak tua saya memilih hidup miskin dan menjadi pelukis abstrak.

Berkarya adalah kepuasan batin. Karya lukisan saya sangat banyak, bertumpuk-tumpuk, berlembar-lembar kertas dan kain kanvas, beberapa dus besar atau kecil, membuat saya sesak napas jika masuk gudang saya yang memang sebenarnya tidak cukup luas.

Kenangan saya kepada almarhum pelukis Sriwidodo berkepanjangan. Beliau pernah bilang, "Melukis itu gampang, Yus, menyimpannya yang susah." Tapi saya ingin mengalahkan Vincent van Gogh dan Picasso yang karyanya ribuan. Maka itu saya melukis cepat dan seperti kesetanan. Dari Mas Wid saya belajar melukis berlama-lama, melukis yang dinikmati, pergaulan dengan cahaya dan warna. Dan saya sampai pada kesimpulan: pelukis abstrak hanya butuh satu kanvas saja untuk dilukis dan dihapus dan dilukis lagi dan dihapus lagi dan dilukis lagi dan seterusnya. Betapa sangat bahagianya jika memang benar bisa seperti itu.

Banyak lukisan yang pergi, terjual atau dibawa teman tanpa kabar lagi. Waktu muda saya sangat sayang karya-karya saya sampai hampir-hampir tak ingin menjualnya (mungkin karena itu saya tidak pernah berpameran). Sekarang berbeda. Saya pikir, saya rasa, adalah lebih baik karya-karya saya berada di dinding rumah orang dan banyak yang bisa memandanginya. Saya percaya karya baik akan abadi dan mempunyai jodohnya sendiri sebagai pemiliknya. Bahkan meskipun tanda tangannya diganti (ini pernah terjadi) saya harus rela, karena sudah berada di luar wilayah penciptaan, bukan urusan saya lagi sebagai pembuatnya.

Sekarang saya melukis abstrak tanpa beban, tidak saja hanya dengan kegairahan kegilaan seni seperti waktu saya muda, tetapi dengan bahagia.

Saya mencatat Kompas Minggu 1 Februari 2015, setelah membaca rubrik "Soca" yang ditulis oleh Aryo Wisanggeni G, tulisan yang mengasyikkan tentang keindahan. Judulnya, "Rona Warna Emmy Go".
 Saya salin beberapa alinea.


Aliena pembukanya begini:
MENIKMATI hidup dan menikmati hidup. Begitulah Emmy Go menjaga dirinya tetap lentur dan lepas. Kelenturan dan kelonggaran Emmy membuatnya selalu menemukan keindahan dari apa pun yang dialaminya. Dari menikmati hidup, Emmy memaknai hidup.

”Mungkin mama saya khawatir anaknya jadi seniman. Padahal, tidak ada yang salah dengan seniman, menjalani hidup yang lebih merdeka dan bermakna. Akhirnya, saya memilih jurusan yang kuliahnya singkat, pilihannya ilmu manajemen. Rasanya, ingin cepat-cepat selesai dan bebas....”

Sejak 2010, Emmy sekeluarga pindah ke Jakarta, mengejar fasilitas pendidikan yang lebih baik bagi ketiga putranya. Ia juga membuka kelas melukis di sekolah anaknya, berbagi pengalaman melukis. Hal berbagi itulah, menurut Emmy, jadi esensi yang mengisi hari-harinya. Lewat lukisan ia ingin berbagi keceriaan, sembari perlahan mengajak anak-anak memaknai hidup. Lukisan-lukisan Emmy yang penuh lanskap alam, pohon-pohon dalam warna ceria, dengan mudah membangkitkan rasa indah di hati setiap penyimaknya. Keindahan itulah yang Emmy inginkan mengalir ke hati anak-anak didiknya.


Saya tutup catatan ini dengan mengambil alinea penutup tulisan tentang Emmy Go yang indah ini:

Ah, kelenturan Emmy membuatnya bisa menemukan hal indah dari apa saja. Dan kemudian keceriaannya selalu membuat keindahan itu merona-rona.



Minggu, 29 Maret 2015

Mengenang Pelukis Abstrak Sriwidodo



Saya mengenal muka pelukis Sriwidodo sejak tahun 1994. Sebelumnya saya hanya mendengar namanya sebagai seorang pelukis abstrak yang telah mengundurkan diri. Mas Wid, demikian saya memanggilnya setelah diperkenalkan oleh Steve Kamajaya, adalah seorang yang bersahaja. Kami cepat menjadi akrab. Kami suka ngobrol ngalor-ngidul di rumahnya yang asri di Condet. Ada saja ceritanya. Mas Wid punya banyak kenangan pada masa lalu tentang para seniman Indonesia. Temannya banyak, tidak hanya pelukis tetapi juga pengarang dan penyair, dramawan dan orang film. Maka tak heran kami betah 'menanggapnya' karena banyak cerita kejadian yang lucu-lucu. Saya katakan kami karena kalau saya datang ke rumahnya pasti bersama teman. Ada teman seniman, ada yang bukan seniman. Mas Wid dan isterinya Mbak Yani selalu ramah menerima kami. Rumah di Condet ini menjadi tempat nongkrong kami dengan betahnya. Ada masanya boleh dikatakan hampir setiap hari kami di sana. Betapa indahnya.

Bicara tentang Sriwidodo adalah sangat sulit jika bicara lukisan. Waktu pertama kali ke rumah Mas Wid saya dipesan wanti-wanti oleh Steve agar 'bijaksana' bicara seni rupa. Saya ingat betul kesan pertama, setelah disambut pohon sawo yang besar dan rimbun, kami duduk menggelar tikar di ruang tamu yang terang karena penuh jendela kaca. Dinding tembok putih tak ada hiasan apa-apa, hanya ada retakan panjang di satu sudutnya seperti lidah halilintar menghunjam tanah. Tak ada satu pun lukisan di dinding rumah. Tidak ada tanda bahwa ini rumah seorang pelukis. Bahkan kemudian saya tahu bahwa lukisan-lukisan karya Mas Wid dibungkusnya begitu rapi dengan kertas kopi. Dia telah membungkus seni rupanya sejak lama.

Ya, sejak tahun 1972 dia memastikan untuk menjadikan kegiatan kesenian sebagai mempribadi. Dia melukis tetapi hanya untuk dirinya sendiri. Dia tidak peduli dengan komentar orang, apalagi kritik. Dia mengasah dirinya. Dia asyik dengan kesendiriannya di studionya yang rapi dan bersih. Dia mengerjakan lukisannya seperti berlama-lama. Perlu waktu beberapa bulan untuk satu kanvasnya. Bahkan ada yang setahun lebih masa penggarapannya. Dia kelihatan begitu enteng dalam proses kreatifnya. Tapi dia sangat serius, melukis adalah pilihan hidupnya. Dan lukisan abstrak adalah jalannya.

Walaupun Mas Wid tidak suka mendiskusikan atau membicarakan seni lukis, tetapi dia penuh perhatian kepada teman-teman yang melukis. Dia selalu mendorong saya untuk tetap melukis. Dia menasehati saya untuk memakai bahan-bahan yang bermutu, untuk melukis dengan serius, dan melukis untuk sehat. Demikian juga nasehatnya kepada teman-teman pelukis lain. Tetapi Mas Wid tidak suka mengajarkan orang, paling anti untuk dijadikan guru. Jika ada yang ingin menjadi pelukis, diingatkannya bahwa ini adalah hobi yang mahal. Menjadi pelukis harus benar-benar pilihan.

Mas Wid sangat menghargai karyanya. Lukisan-lukisannya disimpan dengan rapi. Tidak sembarang orang bisa melihat karyanya selain yang sedang dikerjakan. Di studio kecilnya yang selalu rapi hanya ada dua lukisan. Yang satu sedang digarap, sedang yang satu lagi menempel di dinding sedang dianginkan dikeringkan. Jika yang digarap selesai, maka yang di dinding diturunkan untuk disimpan. Tempatnya digantikan oleh lukisannya yang baru selesai. Pada saat inilah tampak puncak kebahagiaannya berkarya, jelas pada wajahnya  yang penuh senyum.

Pesannya tentang karya adalah, jangan berikan siapa pun lukisan secara gratis, meskipun dibuatnya dengan mudah. Ini menjadi pesan khusus kepada saya karena saya suka membagikan lukisan saya. Menurutnya, lukisan yang dibagikan gratis membuat orang tidak bisa menghargai, apalagi menyimpannya dengan baik. Orang yang menginginkan lukisan harus mau bayar, sedikitnya ganti materi plus imbalan untuk seninya. Pesan ini sangat serius menunjukkan bagaimana menjadi pelukis serius. Karya adalah pergulatan batin senimannya.

Dalam hidup kesehariannya Mas Wid sangat sederhana. Dia kebanyakan di rumah, sibuk sendiri dengan kebunnya, burung-burung dan ikan-ikan peliharaannya. Dia sering berseloroh bahwa pekerjaannya adalah tukang sapu, hobinya melukis. Maka itu jika kami datang, dia meninggalkan kuas dan kanvas yang sedang diolahnya, dan kami gelar tikar untuk ngobrol. Mas Wid punya banyak cerita karena pengetahuan dan pengalamannya luas, tentu saja tentang masa lampau, dunia seni, tempat dan makanan, berbagai aspek kehidupan. Tanpa kami sadari, kami belajar bahwa menjadi seniman adalah menjadi saksi zaman.

Pelukis Sriwidodo tetap melukis sampai akhir hayatnya. Dia tidak menyombongkan diri sebagai pelukis, tetapi kesetiaannya kepada seni lukis harus dipujikan. Karya-karyanya boleh dikatakan tidak banyak tetapi di situlah kehidupannya ditumpahkan. Dia tidak menjadi tokoh yang sangat menonjol dalam seni lukis Indonesia, tetapi dia salah seorang pelukis abstrak Indonesia yang mengagumkan. Salut dan hormat saya selalu kepada Mas Sriwidodo, teman baik yang bersamanya terlalu banyak kenangan. Semoga karya-karyanya abadi.

Palmeriam, 6 Mei 2013

(Saya tulis sebagai teman untuk buku tentang pelukis Sriwidodo)



Sabtu, 28 Maret 2015

Jojo dan SNM Lewat Jendela Rumah Kita




Jendela Rumah Kita adalah serial televisi drama Indonesia tahun 1989-1990. Jadi tulisan ini saya buat di tahun 1989.
http://id.wikipedia.org/wiki/Jendela_Rumah_Kita

Saya ingat malam itu Syamsudin Noer Moenadi (teman-teman memanggilnya Si Pelor) seperti biasa datang dengan riuhnya. Dia bercerita tentang serial televisi Jendela Rumah Kita yang sedang naik daun. Karena wartawan rupanya dia baru meliput sinetron itu. Saya menunjukkan naskah yang baru saya tulis, dia membacanya bolak-balik terburu-buru (khas Pelor), dan wajahnya jadi sangat berseri-seri. "Ini mesti dimuat, Yus," katanya. Dan beberapa hari kemudian terbit di Tabloid Monitor. Saya lupa honornya apakah saya serahkan semua ke istri saya atau untuk minum bir.




J O J O


Oleh: Julius Yusidjaya


Jojo tiba-tiba menggedor kesadaran saya. Senyumnya yang khas selalu terbayang ketika saya ingin berangkat tidur. Senyum itu seperti senyum malu-malu, seperti senyum bangga, tapi seperti juga senyum yang mengejek. Senyum malu-malunya bisa saya terima sebagai kerendahhatian seorang muda. Senyum bangganya bisa saya terima sebagai kepercayaan diri seorang muda. Tapi senyum mengejeknya itu? Mau tidak mau saya terima sebagai kenyataan kecemburuan saya.

Betapa tidak, ketika saya seusia Jojo, saya tidak punya pacar secantik itu. Saya tidak punya tubuh atletis begitu. Saya tidak bisa menamatkan kuliah. Saya sulit mencari kerja. Saya punya MDS (Masa Depan Suram). Dan hari-hari saya berlalu tanpa punya Senin, Selasa, Rabu dsb, hingga waktu seperti menguap begitu saja.

Saya sadar bahwa zaman saya dengan zaman Jojo lain. Kemajuan telah begitu pesat sekarang. Belasan tahun lalu mana ada jalan layang di Jakarta. Belum ada bioskop kembar sekian, belum ada diskotek, belum ada video rental, belum ada RCTI. Boro-boro komputer masuk rumah, TV masuk rumah pun masih jarang. Belum ada monitor dan saya tidak kenal sinetron, apalagi Tabloid Monitor.

Sutinem pacar pertama saya (yang kemudian saya panggil Mince supaya lebih keren) kalau didandani seperti sekarang pasti tidak kalah cantik dengan pacar Jojo. Sayang saja dulu Sutinem tidak punya majalah remaja khusus untuk cewek, tidak terlintas dalam pikirannya untuk menjadi foto model, atau bintang film, atau penyanyi. Sutinem sudah berani pakai rok mini, lho! meskipun hanya punya semata wayang.

Jojo dan saya jelas lain. Tapi ada persamaan Jojo dengan waktu saya seusianya. Saya juga bisa cuek dan seenaknya. Saya bisa kelihatan masa bodoh dan tak peduli pada aturan-aturan yang terasa mengikat dan kuno. Saya bisa hormat pada orang yang lebih pintar dan bijak. Saya memikirkan hidup saya, keluarga saya, lingkungan saya. Saya gondrong karena waktu itu sedang mode. Saya suka musik rock tapi saya tidak anti dangdut. Saya suka baca buku, belajar keras, kemudian kerja keras. Ya,ya, saya punya semangat muda yang bergolak. Ya,ya, saya tidak mau diperlakukan sewenang-wenang. Ya,ya, saya cinta kebenaran dan keadilan. Saya menikmati masa muda saya meskipun tidak secerah ceria benderang gemerlap sekarang dalam arti fisik. Sadar bahwa hidup pada zaman yang berbeda, maka saya berani mengatakan bahwa saya tidak kehilangan masa muda saya. Dan saya bahagia karena itu. Saya tidak boleh cemburu pada Jojo! Ya, betul.

Tapi yang membuat saya terperangah adalah, siapa Jojo yang senyumnya selalu terbayang di kelopak mata saya, yang saya rasakan mencibir kepada saya? Nah, sekarang senyum itu sinis nadanya bagi saya. Kecemburuan apa yang tiba-tiba begitu liar menghentak kesadaran saya?

Jojo muncul dengan perkasa, berdiri tegar bagai gunung Semeru di hadapan saya lewat jendela rumah saya, dengan senyumnya yang khas. Jojo membuat saya tersipu-sipu, terhenyak di bangku sofa yang empuk setelah “Jendela Rumah Kita” usai ditayangkan TVRI. Di hati saya bergaung berulang-ulang, menjadi erangan, sebuah kalimat tanya,”Siapa kamu Jojo! Siapa kamu?”

Rasanya saya kenal betul kamu, Jo. Rasanya kita pernah bertemu entah di mana. Rasanya kita pernah akrab. Rasanya kita pernah, atau bahkan sering ngobrol bersama. Oh Jojo! Saya belum pikun untuk lupa begini berat. Jojo! Siapa kamu?

Ya,ya, saya bisa ingat sekarang. Kamulah itu anak muda di bus kota, yang bersedia berdiri untuk seorang wanita hamil atau seorang tua di dekatmu, padahal kamu sudah setengah mati berjejalan berebut bangku di Lapangan Banteng. Kamulah anak muda yang setengah mati mengeluarkan uang logam dari saku jeans belelmu, memberikannya pada seorang pengemis cacat, di jembatan penyeberangan Salemba, ketika matahari tepat di atas kepala. Kamulah itu anak muda yang bengong mendengarkan pembacaan sajak seorang penyair besar yang bicara tentang nasib orang muda, berdiri karena tidak kebagian bangku, pada suatu malam di Taman Ismail Marzuki. Kamulah itu anak muda yang berdiri di tiang listrik, pada suatu magrib menjelang Pemilu, mendengarkan orang-orang tua di Pos Hansip dengan gagah berdebat bicara soal politik. Ya, kamulah itu yang malam-malam bersandar di pinggir jembatan, memetik gitar, dengan lirih menyenandungkan lagu-lagu cinta.

Jojo, betulkah kamu itu?
Jojo! Kamu atau sayakah itu?

Jojo cuma tersenyum. Senyum itu menyiksa saya. Senyum itu membuat saya tidak bisa tidur. Senyum itu membuat saya tidak enak makan. Senyum itu membuat isteri saya memandang saya heran dan dengan hati-hati bertanya, “Ada apa sih, Mas? Kok kelihatannya pusing betul? Ada yang tidak beres di kantor tadi?”

Pada suatu pagi, ketika saya sedang berlari-lari kecil, seorang pemuda merendengi saya. Gembira dan tampak bersemangat menyongsong matahari terbit. Dia bercerita tentang anak-anak muda Karang Taruna unit RW ini. Bahwa mereka telah kerja bakti membersihkan saluran got yang selama ini tergenang dan jadi sarang nyamuk. Bahwa mereka telah bersama-sama membuat gapura di ujung jalan untuk menyambut HUT RI. Bahwa mereka telah merencanakan dan menjalankan beberapa kegiatan untuk membantu anak-anak muda penganguran. Bahwa mereka telah mengadakan bimbingan belajar untuk adik-adik mereka yang tidak mampu secara cuma-cuma. Bahwa mereka akan mengadakan lomba cepat tepat seperti di TVRI, juga lomba yang lain, panggung kesenian untuk merayakan Hari Kemerdekaan. Dan banyak lagi.
Saya tercenung. Anak muda itu terus bicara dengan penuh semangat dengan senyumnya yang saya kenal betul. Siapa anak muda ini? Si Jojo? Si Mamat anak Bang  Jai?

Dia si Dulhak!

“Bagus!” kata saya sambil terus berlari kecil. Saya kira saya pun tersenyum. “Teruskan itu semua. Waktu saya seumur kamu, saya punya banyak gagasan besar. Tapi tetap tinggal gagasan. Saya suka kamu, anak-anak muda sekarang, karena kamu tidak seperti saya. Saya cemburu kepada kalian, sungguh. Karena saya dulu punya gagasan besar untuk kampung saya, untuk negeri ini, tapi meleleh menjadi ocehan kesombongan yang tak perlu. Tapi kalian, tidak menunggu gagasan besar. Gagasan kecil, langsung dilaksanakan. Saya tidak tahu, apakah dulu saya mabuk dengan gagasan atau saya memang tidak punya keinginan untuk melaksanakan gagasan meskipun yang kecil dan tampak sepele. Saya salut pada kau Jo, eh Dul!”

Wajah anak muda itu berseri. Dia menatap saya dengan senyumnya yang terasa menyejukkan. Saya kira dia pun memandang saya begitu berseri dengan senyum yang juga menyejukkan.

Sebuah pagi yang indah.

Ketika sampai di rumah, saya membuka jendela. Saya melihat anak-anak berseragam SD berangkat ke sekolah dengan senyum yang merekah lewat depan rumah saya. Anak-anak itu punya hari, sadar punya Senin, Selasa, Rabu dsb.
   
“Selamat pagi, Jojo-Jojo dan Joji-Joji!” sapa saya dalam hati.
Dan ketika saya sedang menghirup kopi hangat sambil membaca koran pagi, anak lelaki saya yang kelas 6 SD pamit untuk berangkat ke sekolah. Wajahnya sangat berseri dan senyumnya begitu saya kenal. Dia memakai seragam Pramuka. Gagah sekali.

“Selamat pagi, Jo!” kata saya.

Saya teramat bahagia. Saya juga punya Jojo. Setidaknya dari rumah ini akan tampil Jojo yang lain.

Jumat, 27 Maret 2015

Menjadi Tua bersama Clint Eastwood



Saya sudah mendengar beberapa kali di Brava Radio, "Menjadi tua adalah menyenangkan ketika Anda bersantai dan menikmatinya. Clint Eastwood".

Saya ingat sebuah film yang disutradarainya yang saya pujikan, berjudul "The Bridge of Madison County". Dibintangi oleh Clint Eastwood dan Meryl Streep. Owen Gleiberman dari Entertainment Weekly bilang, "Clint Eastwood and Meryl Streep make magic." Film ini tentang percintaan empat hari insan setengah baya. Mereka harus berpisah untuk tidak bertemu lagi dan mereka menjadi tua bersama cinta mereka.



Sekarang umur saya masuk 61, sedang menjadi tua. Kumis dan jenggot kambing saya hampir putih semua tetapi rambut saya masih hitam. Waktu saya remaja ada teman sekolah saya yang suka bilang bahwa saya 'sok tua'. Mungkin benar karena bagi saya tua itu keren. Tua berarti bijaksana.

Setelah setua ini saya pikir bijaksana artinya tahu diri. Tahu diri bahwa umur sudah berkepala enam. Tahu diri bahwa fisik sudah mulai menurun. Tahu diri bahwa merasa hebat dan mengikuti nafsu hanya untuk orang muda. Tahu diri untuk tidak lagi petantang-petentengan. Tahu diri bahwa jika ada makhluk cantik yang kagum dan jatuh cinta hanya cukup dijawab (sambil tersenyum) dengan 'terima kasih' saja.

Saya hidup sederhana, setiap hari sibuk sendiri untuk berbahagia.
Saya percaya Tuhan sangat sayang kepada orang tua yang tahu diri, dan seniman pula. Maka saya membenarkan apa yang dikatakan seniman film Clint Eastwood yang jauh lebih tua dan jauh berpengalaman makan asam garam kehidupan dari saya. GBU.




Sajak-Sajak Saya, dan Adek Alwi di Facebook



Sejak kecil saya suka menggambar dan mengarang.
(Saya suka melamun dan berkhayal. Cita-cita saya semasih bocah adalah menjadi pilot.)
Ketika saya bergabung dengan Facebook, puisi/sajak sedang ramai. Saya kaget mendapatkan begitu banyak nama penyair yang tidak saya kenal. Saya ketinggalan zaman. Sekarang zaman Sastra Facebook.

Saya kembali bergairah sastra. Saya bertemu lagi dengan teman-teman penyair di dunia maya setelah lama tidak bersua. Saya banyak punya teman-teman baru penyair yang muda-muda, banyak juga perempuan, ada yang cantik, ada yang manja. Sastra di Facebook menghibur saya.

Teman lama yang saya hormati Adek Alwi meminta sajak-sajak saya untuk dibicarakannya. Dia sedang getol mengulas sajak teman-teman. Saya jawab bahwa saya tidak punya sajak baru, tapi ada beberapa sajak lama yang belum diterbitkan. Tak apa-apa, jawabnya. maka saya kirim lewat inbox Facebook sajak-sajak ini.


RINDU 1

betapa banyak mimpi
menerjang dinding kamar
sudah selesai musim badai, lewat jendela
langit bersih sekali, kelompok burung
beberapa kali terbang entah pulang entah pergi
aku di sini mengeja namamu
lirih
seakan kau yang melintas di luar
kutunggu

sepi


RINDU 2

senja. pohon-pohon randu yang meranggas
telah bersemi kembali, entah untuk keberapa kali
sejak kau pergi, langit lembayung serta angin
membekukan atap rumah
aku pingin turun hujan
bagai cadar di jendela
setelah menutup korden, menyalakan lampu
berbaring di ranjang, menangis kecil
membayangkan wajahmu

samar


PADA SUATU PAGI, KAU DAN AKU

ke mana kita akan pergi? tanyaku
telaga keruh dan laut berbadai
sementara di selatan hutan terbakar
dan di taman kota kabut begitu tebal

engkau bercermin di kaca
masih saja berdandan


PADA SUATU MALAM, KAU DAN AKU

- betapa banyak bintang, katamu
asap rokokku bergulung ke langit menjadi mendung
menyamarkan pandangku
- kau selalu bicara kesenyapan, usikmu
kabut turun tiba-tiba
- marilah kita tidur, ajakmu

di kamar, kau mengusap kaca jendela yang buram
- betapa banyaknya bintang, katamu


A BITTER LOVE

Kemarin aku menemukan tubuhku di tepi pantai
tanpa kepala
Pagi ini kamu duduk di beranda
dengan koran yang bertanya,
siapa pembunuhnya?
“Kekasihku,” jawab tubuhku di kamar mayat
Dengan apa kamu dibunuh? tanyamu
“Cinta,” jawab kepalaku yang menangis
di kantong plastik hitam
jauh dalam hatimu yang berdarah


IBU

Ibu ingin menggapai bulan
Katanya bulan adalah sebuah bola yang hilang
pada masa kanaknya
Ibu dapat bulan
Dilambungkannya ke langit
Jadi matahari
Ibu ingin menggapai matahari
Katanya matahari adalah sebuah bola
yang hilang pada masa kanak ibunya


MIMPI

jika kamu tidur, sayang
mimpikan aku
jika mimpimu indah
aku tidur di dalamnya
sampai aku mimpi yang sama
jika mimpimu buruk
yakinlah, aku akan menidurkanmu sampai
aku tidur dalam mimpimu
dan bermimpi indah


WAKTU SENJA

duduk di jendela terbuka
cermin tak mau memandangmu
angin lewat tanpa menyapa
langit kelabu
pepohonan kaku

di sana, di telaga mati
seorang lelaki tua memancing sambil bernyanyi


DI RESTORAN PADA SUATU SIANG

langit kelabu rata, gedung-gedung menempel padanya
kendaraan lewat tak putus, orang-orang datang pergi dengan sibuk
angin mati entah di mana, ciliwung di depan keruh, diam
di ruangan ini musik country menggema
mengucap selamat datang selamat jalan

kaukah yang datang dan duduk di seberangku
mengatakan bahwa hari sudah malam dan
turun hujan


BIAR

biar aku lupa pada kata
agar ke mana kupergi tak usah bicara, membaca,
terusik omongan, sapaan, atau jerit siapa saja
biar aku mendengar
setiap pembicaraan seperti risik hujan,
derak batang-batang bambu, gemercik air sungai,
gelegar ombak di pantai, halilintar, atau apa saja
asal bukan kata
biar
sampai aku lupa namaku
namamu

Rabu, 25 Maret 2015

Saya Suka Kota dan Pantai



Berita utama koran kompas hari ini berjudul "Pemimpin Tentukan Nasib Kota--57 Persen Penduduk Indonesia Tinggal di Kota pada 2025". Saya catat dua alinea pembuka,

"Sepuluh tahun lagi, 57 persen penduduk Indonesia akan tinggal di kota. Tanpa antisipasi, kota akan menjadi tempat masalah dan bencana. Membangun kota cerdas dan bijaksana adalah keniscayaan. Kepemimpinan yang disiplin dan kuat menjadi prasyaratnya.

Demikian pesan dari peluncuran Indeks Kota Cerdas Indonesia (IKCI) 2015 di Jakarta, Selasa (24/3). Indeks ini adalah parameter untuk mengukur dan memeringkat kinerja pengelolaan kota berbasis teknologi digital terhadap pelayanan masyarakat. Program ini merupakan kerja sama antara Institut Teknologi Bandung dan Kompas didukung PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk."


Saya tinggal di tengah kota Jakarta, rumah tua warisan keluarga isteri saya. Suatu saat rumah ini pasti dijual dan uangnya dibagi dua, isteri saya dan adiknya. Pasti kami tidak bisa membeli lagi rumah di tengah kota. Cerita rumah warisan sudah klasik, dijual dan uangnya dibagi-bagi, dan penghuninya pindah ke pinggir kota atau luar kota. Saya cinta rumah ini karena penuh kenangan dengan keluarga dan teman-teman seniman.

Saya suka kota dan pantai. Saya ingin punya rumah di kota Labuhan, Jawa Barat. Saya jatuh cinta pada kota ini. Jika saya punya uang, saya akan bikin studio di sana, di gigir bukit tepi laut. Dan saya akan sepuas-puasnya memandang  laut, ombak, cakrawala, awan, langit biru, bintang yang jauh. Sendirian. Dan saya akan merasakan seperti orang yang terakhir di bumi ini.

Dulu waktu saya kuliah di LPKJ-TIM (1974) saya sangat suka workshop karena bepergian dan menggambar di luar. Saya tidak akan merasakan panas terik siang hari di atas atap gedung Lindeteves memandang riuhnya Glodok atau terbakar ketika membuat banyak sketsa perahu-perahu di Kali Baru. Saya hanya merasa sangat puas berkarya dan berkhayal menjadi pelukis besar. Saya juga suka dibawa ke gunung, workshop di Ciloto. Tapi saya bukan pencinta alam seperti Steve Clement dan Ariana Pegg (kami masih berhubungan lewat Facebook). Yang paling membuat saya senang ikut kuliah workshop adalah karena kami para mahasiswa tidak keluar ongkos jalan (disediakan bus), kertas gambar dan spidol selalu dibagikan gratis.

Lukisan cat minyak saya banyak yang bertema kota dan perahu di tahun 90-an, juga gunung dan hutan. Sekarang saya melukis abstrak.

Sepuluh tahun lagi mungkin saya masih tinggal di rumah kesayangan ini, mungkin pindah tapi masih tetap di kota. Tapi yang penting saya masih bisa berkarya, dan banyak waktu untuk ke pantai di mana saja, memandang laut.

Di tahun 2012, pulang jalan-jalan ke Parang Tritis bersama teman lama Salimi Ahmad dan Rismudji Rahardjo, saya menulis sajak pendek ini:

aku suka memandang laut
yang ombaknya tak pernah tenang
selalu saja ada kau di sana adik
meniti buih menuju awan

Selasa, 24 Maret 2015

Karena Aku Mencintaimu



Saya suka kata-kata mutiara. Waktu saya bekerja di majalah saya mengurusi kata-kata mutiara. Saya mengumpulkan dari mana saja, buku dan majalah. Saya suka kata mutiara sejak saya masih remaja, karena saya suka nasihat. Saya bisa menerima nasihat dan juga suka menasihati. Sekarang saya tidak lagi suka menasihati karena saya  pernah dinasihati teman saya bahwa "Semua orang tidak suka dinasihati". Dan saya juga pernah membacanya sebagai kata mutiara. Dan ternyata saya juga sesungguhnya hampir seperti itu, saya suka dinasihati tetapi saya tidak betul-betul peduli.

Saya sangat suka kata-kata mutiara tentang cinta.
Saya mempunyai buku kecil berukuran 9 x 14 cm, tebal 89 halaman, berjudul "Karena Aku Mencintaimu". Buku ini ditulis oleh Robert J. Schuller, alih bahasa Dr. Widjaja Kusuma, penerbit Interaksara, tahun 2000. Isinya adalah kumpulan kata mutiara dengan tata letak sedemikian rupa, setiap halaman terisi satu kata mutiara. Saya mencatat di sini beberapa yang saya sangat suka.


Dengan sentuhan cinta, semua orang menjadi pujangga.
-Plato

Agar semua manusia saling mengasihi: Mungkin merupakan tugas yang paling sulit, yang paling tinggi, ujian dan bukti paling akhir, karya yang menjadikan semua karya lain kecil.
-Rainer Maria Rilke

Persahabatan seperti dikenyangkan oleh daging asap; cinta seperti dihidupkan oleh champagne.
-Samuel Johnson

Lebih baik tidak hidup daripada tidak mencintai
-Henry Drummond

Hanya ada satu kebahagiaan dalam kehidupan, untuk mencintai dan dicintai.
-George Sand

Cinta sejati tidak pernah berjalan dengan mulus.
-William Shakespeare

Waktu yang tidak digunakan untuk mengasihi adalah waktu yang sia-sia.
-Torquato Tasso

Satu-satunya hadiah yang sejati adalah sebagian dari dirimu.
-Ralph Waldo Emerson

Untuk benar-benar merasakan kebahagiaan, Anda harus memiliki orang untuk berbagi kebahagiaan itu.
-Mark Twain

Jika cinta berkuasa, hal yang tidak mungkin dapat diraih
-Peribahasa Indian

Cintaku padamu tercampur di seluruh tubuhku
-Lagu Cinta Mesir Kuno

Bagaimana aku mencintaimu? Biarlah aku mengatakannya.
-Elizabeth Barett Browning

Hiduplah bersamaku. Yang terbaik belum terjadi.
-Robert Browning

Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya.
-Kidung Agung 8:7


(24 Maret 2015)

Senin, 23 Maret 2015

If Loving You Is Wrong I Don't Want To Be Right


https://www.youtube.com/watch?v=d9i-035LHws

Saya orang yang berperasaan. Pertama kali mendengar lagu ini lewat kaset Rod Stewart di awal tahun 80-an, saya gelisah. Istri saya satu, putera saya baru dua, tidak punya pacar gelap. Hidup saya penuh perjuangan, menulis untuk makan sekeluarga. Tapi menyimak lirik lagu ini terasa seperti mendengar sebuah ramalan (dan kemudian menjadi ilham untuk lahirnya sebuah novelet).

Beberapa tahun lalu seorang teman setengah baya bercerita kepada saya bahwa dia sedang jatuh cinta. Menurutnya, perasaan ini baru pernah dialaminya, sangat berbeda ketika dulu dia mengenal isterinya. Saya jawab bahwa dia sedang tergila-gila. "Mungkin inilah cinta yang sebenarnya," katanya lagi, lirih dan sedih.

Beberapa bulan lalu seorang teman setengah baya yang lain menelpon saya bahwa dia sedang jatuh cinta. Hidupnya sudah terpisah dengan isterinya. Dia mengatakan bahwa, dalam seumur hidupnya baru pernah merasakan bahagia seperti ini. Saya bilang bahwa dia sedang tergila-gila. "Orang yang sangat rasional sepertiku tidak bisa tergila-gila," dia menerangkan dirinya, "Inilah cinta, belahan jiwa." Saya tidak ingin merusak kebahagiaan dan (bagaimana pun bentuknya) harapan orang lain.

Jatuh cinta atau sampai tergila-gila sungguh berat menanggungnya. Padahal jika ini hanya masalah perasaan seharusnya bisa dibikin mudah. Konon perasaan gampang dibunuh. Dan kata orang cinta harus pakai logika. Tapi di lagu-lagu, cinta selalu dinyatakan sebagai derita dan air mata.

Saya orang yang berperasaan, sangat mudah untuk jatuh cinta. Saya orang yang gemar berimajinasi, sangat mudah untuk tergila-gila. Saya sangat mengerti bahwa cinta bisa berarti: Kebaikanmu, kegilaanmu, kemesumanmu... semuanya indah!

(Kadang-kadang jika saya kangen suara sengau Rod Stewart saya putar lagi lagu ini.)

Are you wrong to give your love
to a married man
And am I wrong trying to hold on
to the best thing I ever had
If loving you is wrong I don't wanna be right
If loving you is wrong I don't wanna be right

Minggu, 22 Maret 2015

Saya Kagum Nadya Hutagalung dan Perempuan Hebat



Saya pengagum Nadya Hutagalung. Dia cantik.
Dia seorang perempuan yang hebat. Saya selalu kagum kepada perempuan hebat.
Saya salin dari Kompas Minggu rubrik Nama & Peristiwa,
"Selain berjuang untuk penyelamatan hiu dan gajah, Nadya juga baru saja dilantik sebagai Duta Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk penyelamatan orangutan. Awal Maret lalu, ia diundang untuk berdiskusi di Markas Besar PBB sebagai duta Great Apes Survival Partnership (GRASP) yang, antara lain, berjuang untuk penyelamatan orangutan."
Ya, saya pun kagum dengan hiu, gajah dan orangutan.


Saya suka bermain catur dan saya kagum kepada perempuan hebat yang jago catur. Irene Kharisma Sukandar (lahir di Jakarta, 7 April 1992) adalah seorang pecatur Indonesia pertama yang berhasil menyandang gelar Grand Master Internasional Wanita (GMIW) terhitung mulai Desember 2008. Sekarang sedang bertanding di Kejuaraan Dunia Catur Wanita. Ada lagi yang lebih muda dan masih belia, Medina Warda Aulia, dia akan melawan 650 pecatur online tgl 28 Maret 2015 (Iklan di Kompas Minggu hari ini).


Saya suka berteman dengan perempuan sejak saya masih bocah. Saya berteman dengan tiga nenek dan para embok yang membantu para nenek membuat dan menjual kue basah. Di sekolah saya berteman dengan murid-murid perempuan yang memuja saya karena saya pandai menggambar. Saya merasa banyak yang sayang. Saya pun merasa seorang yang penyayang. Sampai sekarang teman mempunyai arti penting untuk saya. Sekarang saya punya teman-teman perempuan yang hebat seperti Yana Arsyadi, Julia Napitupulu, Erny Susanti yang saya kenal lewat Facebook. Terima kasih dunia maya.

Teman perempuan saya yang paling hebat adalah isteri saya karena selalu menjadi teman hidup saya dalam susah dan senang. Hanya dia yang bisa memberikan saya tiga orang putra yang hebat. Sekarang saya sudah punya dua menantu perempuan hebat dan dua cucu perempuan (dari dua menantu) yang cantik dan pintar, hebat.

Saya selalu kagum kepada perempuan hebat. Saya juga kagum kepada ketiga adik perempuan saya. Saya bertumbuh bersama kalian. saya sayang semua.

Perempuan hebat yang paling saya kagumi adalah ibu saya. Perjuangan hidupnya luar biasa membesarkan tujuh anak. Saya percaya beliau sudah berbahagia di surga. Besok hari ulang tahunnya. "Selamat ulang tahun, Ma, kamu menguatkan saya, terlalu banyak kenanganmu."

Sabtu, 21 Maret 2015

Edgar Allan Poe & Gila



Buku jadul "Maut dan Misteri" memuat empat cerpen Edgar Allan Poe: Kucing Hitam, Sistim Dr. Tarr dan Prof. Fether, Sumur dan Bandul, Si Kodok. Jadi judul "Maut dan Misteri" mungkin diberikan oleh penerbit atau penerjemah, Trisno Sumardjo.
http://opayus.blogspot.com/2015/03/buku-jadul-bersampul-gambar-oleh.html

Tentang pengarang saya salin dari buku (yang tercetak dalam ejaan lama).

"Edgar Allan Poe sekarang diakui oleh seluruh dunia sebagai salah seorang pengarang prosa dan puisi Amerika yang terbesar; antara pengarang-pengarang di sana dari abad 19 ia paling banyak dibaca serta mempunyai pengaruh di mana-mana. Roman-roman detektif modern sebagian besar menuruti metode yang dipergunakan Poe dalam karangan-karangannya Murders in the Rue Morque, The Mystery of Marie RogĂȘt, dan lain-lain. Tapi meskipun begitu, selama hidupnya ia kurang dimengerti orang, bahkan sering dihina dan dianggap gila.

"... Karya-karya prosa Edgar Allan Poe mentakjubkan, tak hanya karena pemikiran yang tajam disertai daya khayal yang unik dengan penjajagannya dalam jiwa manusia secara mendalam dan tak jarang meremas-remas hati -- Poe adalah penjelajah yang luar biasa atas kepedihan dan penderitaan manusia -- tapi juga karena kekhususan gayanya yang tak kita ketemui pada pengarang-pengarang lain dan karena kepadatan isi karya-karyanya, kehebatan emosi serta kemantapan ungkapannya. Ternyata bahwa kehidupannya yang penuh penanggungan itu telah dihayati sepenuhnya olehnya dan disalurkan melalui bakat besarnya dalam cerita-cerita serta sajak-sajaknya, dibimbing oleh keluhuran sikap yang tak kenal keluh-kesah bagi dirinya sendiri, bahkan, bagaimanapun keadaan pribadinya, ia masih memandang kehidupan sebagai kekuatan yang ampuh dan berharga."

Ceritanya yang berjudul "Sistim Dr. Tarr dan Prof. Fether" berkisah tentang kejadian di rumah sakit jiwa di mana dokter yang mengepalai rumah sakit itu juga telah menjadi gila.

Saya salinkan dua alinea dari "Kucing Hitam" untuk menutup catatan ini.

"Tertekan oleh siksaan-siksaan seperti ini, lenyaplah sisa-sisa kecil kebaikan budi dalam diriku. Cuma pikiran-pikiran jahat yang menemani aku -- amat jahil dan durhaka! Rasa tak senangku meningkat jadi rasa benci terhadap semua hal dan seluruh umat manusia, maka yang menjadi korban dari ledakan-ledakan amarahku yang bertubi-tubi dan tak terkendalikan serta membabi buta ini -- o, celaka! -- adalah seringkali isteriku sendiri yang sabar dan penurut itu!

Pada suatu hari ia menemani aku mengambil sesuatu buat keperluan rumah tangga, masuk dalam kolong di bawah rumah tua yang terpaksa kami diami akibat kemiskinan kami. Kucing itu mengikuti aku turun tangga terjal, sampai aku hampir tergelincir. Hal ini membuat darahku mendidih. Lupa akan kecemasan kekanak-kanakan yang sampai kini mencegah tanganku, dalam amarah itu kuangkat setangkai kapak. Kutujukan pukulan pada binatang itu yang pasti ketika itu juga akan celaka, jika pukulan jatuh seperti apa yang kumaksudkan. Tapi pukulan ditahan oleh tangan istriku. Tangkisan ini membuat aku mengamuk lebih dari setan; kusentakkan tanganku dari genggamannya dan kukubur kapakku dalam otaknya. Dia jatuh mati di tempatnya tanpa merintih."



Jumat, 20 Maret 2015

Saya Suka Brava Radio dan What A Wonderfull World



Di awal tahun ini saya bertekad membuat karya yang banyak. Maka saya sudah nongkrong di studio (hanya tempat kerja di loteng kecil, berbagi dengan jemuran) sejak jam empat pagi. Saya melukis sambil mendengarkan musik.

Saya suka Brava Radio, karena jazz. Banyak lagunya, sedikit iklannya.
Lagu-lagu yang diputar banyak yang sudah akrab dengan telinga saya. Kebanyakan jazz ringan tahun 80&90-an. Iklannya tentang apartemen mewah dan barang bermerek yang bergaya membuat saya merasa ingin menjadi orang kaya. Mudah-mudahan suatu hari ada yang mau memborong lukisan saya.

Saya mengenal Brava Radio karena lagu What A Wonderfull World. Lantas saya panteng radio transistor jadul di gelombang 103.8 FM. Menjadi rutin setiap hari sejak jam lima pagi sampai jam sebelasan. Jika hari terik jam sebelas saya tidak bisa melanjutkan kerja karena kepanasan. Setelah tidur siang, jam empat sore saya balik ke studio, menyetel radio lagi untuk beberapa jam sampai nyamuk mengusir saya tanda hari sudah malam.

Jam enam pagi Brava Radio mengumandangkan lagu "Indonesia Raya". Saya ikut bernyanyi dan merasa bangga menjadi orang Indonesia. What a wonderfull world!


"What A Wonderfull World" adalah lagu yang dinyanyikan Louis Armstrong. Saya sangat suka lagu ini karena liriknya mengajak saya memandang dunia dengan indah. Padahal saya seorang penyedih yang lebih suka menyendiri. Dan saya pencinta damai.

http://id.wikipedia.org/wiki/What_a_Wonderful_World

Saya mengenal Louis Armstrong waktu saya remaja, di awal tahun 70-an. Pada sebuah halaman buku komik karya Jan Mintaraga ada tergambar sebuah poster dinding dengan seraut wajah meniup terompet dan di bawahnya tertulis cukup besar "Satchmo". Kemudian saya tahu bahwa Satchmo adalah nama panggilan untuk pemusik hebat ini, kependekan dari 'satchel mouth'. Saya suka suaranya yang 'rusak' jika bernyanyi. Saya suka suara terompet jazz dan lagu "What A Wonderfull World".

Waktu musim kampanye presiden kemarin saya membuat sebuah sajak terinspirasi lagu What A Wonderfull World. Sajak ini saya publisir di Facebook. Dan kepada teman-teman di Facebook saya suka berkomentar bahwa hidup ini indah dengan segala coreng-morengnya.
Maka itu saya melukis abstrak.

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=846737382021787&set=a.856683931027132.1073741850.100000565985102&type=3&theater

Kamis, 19 Maret 2015

Payudara Indah Tak Pernah Salah



TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Meskipun banyak wanita di luar sana, namun hanya satu wanita yang memenangkan title wanita terseksi di dunia.
Dikutip dari Yahoo.com, Jumat (19/12/2014), title itu diberikan oleh People Magazine, kepada Kate Upton, model seksi asal Inggris.
http://www.tribunnews.com/internasional/2014/12/19/ini-dia-wanita-terseksi-tahun-ini


Semalam saya bermimpi mempunyai payudara yang indah. Saya memandang cermin dan bertanya kepada diri sendiri, "Mengapa kecil?"
Hanya sebegitu yang saya ingat. Apa tafsir mimpi ini? Saya sudah tidak percaya lagi tafsir mimpi. Mimpi saya mungkin karena Kate Upton dan membaca rubrik "Kilasan Kawat Sedunia" harian Kompas, Selasa, 17 Maret 2015 tentang underboob selfies:

Bangkok
Di tengah darurat militer yang diberlakukan di Thailand, pemerintah junta militer masih sempat berusaha mengatasi persoalan maraknya posting-an foto underboob selfies (foto diri yang memperlihatkan bagian bawah payudara) di media sosial. Junta militer memperingatkan perempuan Thailand bahwa aksi semacam itu melanggar undang-undang kejahatan komputer. Undang-Undang ini intinya melarang segala bentuk materi publikasi yang dapat mengganggu keamanan negara, memicu kepanikan publik, atau materi cabul yang dapat diakses publik. Kementerian Kebudayaan Thailand mengatakan, pelanggar undang-undang ini akan dihukum lima tahun penjara. Namun, pemerintah sadar bahwa mereka tidak bisa mengidentifikasi pelaku underboob selfies karena wajah pelaku tidak terlihat dalam foto. ”Ketika orang melakukan underboob selfies ini, tak ada seorang pun bisa melihat wajah mereka,” kata juru bicara Kementerian Kebudayaan Anandha Chouchoti. ”Jadi, kami hanya bisa memperingatkan orang agar tidak melakukan hal tersebut. Tindakan itu bukan tindakan yang pantas dilakukan,” kata Anandha. Kementerian Kebudayaan telah lama dikritik karena terlalu ketat menerapkan sensor terhadap film, musik, televisi, dan beberapa praktik kebudayaan Barat, yang diklaim dimaksudkan untuk melestarikan nilai-nilai tradisional Thailand. (REUTERS/LOK)


Ada masanya saya suka melukis tubuh indah dan torso, getol setelah terpengaruh Picasso, modelnya dari foto.
Menurut hemat saya payudara indah untuk dipandang, bukan untuk dipegang.

Saya ingat kutipan kata mutiara Tiongkok dari buku "Aporisma China" terjemahan AS Mangoenprasodjo (Tarawang Press, 2002) Buku ini pemberian Pak Idham Idris almarhum. Pernah saya salin di Facebook.

"Pandanglah kecantikan seperti engkau memandang awan yang molek, dan gairah manusiawimu akan menjadi lembut ...."

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1012481345447389&set=a.464811840214345.87855754.100000565985102&type=3&theater

Rabu, 18 Maret 2015

Saya Suka Kata-Kata, Saya Suka Ocehan, Saya Suka Ngobrol



Saya suka kata-kata dan mengarang. Waktu masih kecil saya suka berbohong, mungkin itu mengarang ala bocah. Saya suka ocehan, karena waktu masih kecil saya sering mendengar ocehan tiga orang nenek yang serumah. Sekarang saya suka mendengar ocehan teman baik. Saya suka ngobrol, mungkin karena waktu kecil saya bergaul dengan tiga nenek yang suka mengoceh dan ngomel. Saya suka ngobrol-ngalor ngidul, kongkow-kongkow, dan teman penting buat saya. Maka itu saya punya Facebook. Jika saya melukis, saya ngobrol dengan diri sendiri. Sebelum tidur saya ngobrol dengan Tuhan.

Saya bagikan blog saya di Facebook setelah saya tulis "Saya Suka Almost Blue". Saya tag dua teman yang saya sebut dalam catatan saya, Julia dan Jim. Julia Napitupulu selalu saya suka ngocehnya. Saya harus salin di sini, kehormatan untuk saya,

"Tak ada yang se-blue Chet. Tepatnya tak ada yg blue nya seperti Chet. Dengar saja suara innocentnya yang bergetar lembut di belakang. Seperti meminta, padahal sedang memaksa. Tak ada yg mencintai seperti Chet. Persis seperti anak-anak. Membabi buta, sepenuh hati, hasrat, tanpa pertimbangan. Rasanya kita rela berkali-kali mematah dan dipatahkan dalam kembara cinta bersamanya. haduh Chet..Chet yg beringsut dari tempat tidur dengan trompet di tangannya, dg rambut masih bercetak bantal, menuju panggung dan duduk meringkuk. Melolong jauhhhhh bahasa trompetnya. Duh Chet..cinta mati deh gw..huhu.. ehh...harusnya kutik di blog ya Ko Jul? wkwkwkw."

Terima kasih banyak, kawan.
(Rasanya sekarang, tak ada yang sebaik dan seramah Julia Napitupulu.)



Senin, 16 Maret 2015

Saya suka Almost Blue

Senin yang basah.
Masih tersisa rasa senang kemarin di pagi ini, dan teringat pada terompet.
Mungkin memang hanya ada Chet Baker ketika mendengar suara terompet jazz.
Saya juga suka Louis Armstrong si mulut besar (bukan kiasan), saya sangat suka lagunya "What A Wonderful World".

Hanya ada dua pelukis hebat di dunia ini sepanjang masa, Vincent van Gogh dan Picasso. Ini mutlak menurut saya. Saya juga suka Mondrian yang konon menyatakan seni lukis sudah selesai.

Hanya ada dua penyair hebat Indonesia menurut teman lama saya yang penulis gembel (dia sedang ngegembel lagi sekarang) yaitu Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri. Saya setuju. Tapi saya juga suka Goenawan Mohamad, dan kemarin di Kompas Minggu diterbitkan puisinya tentang Chet Baker, "Almost Blue".

Chet Baker. Saya langsung teringat dua teman baik, Julia Napitupulu dan Jim B Aditya. Julia cinta mati pada Chet. Jim kegilaan pada terompet, pernah memasang lama fotonya sedang meniup terompet pada fotopic Facebook. Saya ingin mendengar Jula main piano dan Jim meniup terompet membawakan lagu "Fly Me to the Moon". Kelak, pada suatu waktu.
Salam bahagia dan peluk Barney, kawan.



Minggu, 15 Maret 2015

Saya Suka Hari Minggu (Karena Kompas)

Hari ini Minggu, 15 Maret 2015.
Saya sarapan pagi dengan segelas kopi dan roti gambang sambil membaca koran. Hari Minggu selalu spesial bagi saya karena Kompas Minggu.

Saya melahap rubrik Seni. Cerpennya saya pujikan, "Tepi Shire" karya Tawakal M Iqbal. Saya baru mengenal nama ini. Saya catat tentangnya.

-Tawakal M. Iqbal, lahir dan besar di Ciasahan, Kabupaten Bogor, Kampung yang diapit oleh dua sungai dan dikelilingi perbukitan. Kini menjabat sebagai Litbang Desa Barengkok dan Ketua Umum Komunitas Pasar Sastra Leuwiliang (KPSL)

Saya salinkan alinea penutup cerpen:
"Angin mulai berhenti berembus. Pohon maple di seberang itu penuh darah. Langit mulai meniru warna darahnya. Aku mulai mengemasi barang-barangku, untuk bersegera pulang. Tapi kakiku sulit untuk kupakai berjalan."



Di bawah cerpen tercetak tulisan Bre Redana tentang ASEAN Literary Festival yang akan digelar di Jakarta, berlangsung tanggal 15-22 Maret 2015. Judulnya "Media, Sastra, Debat, dan Kritik Sastra". Saya kasih stabilo di tengah artikel ini, "Entah Anda mau berkarya di bidang sastra, teater, tari, film, drama, musikal, Anda tak mudah berkelit dari tuntutan sosial zaman ini: karya harus enteng. Jangan berat-berat."

Saya suka melihat foto dan membaca tentang Christina Perri dengan judul yang indah, "Christina-Si Peri yang Bernyanyi" (Saya juga bisa jatuh cinta kepadanya). Masih dari Java Jazz 2015 yang baru berlangsung, artikel musik "Merayakan Hidup Berdetak" bercerita tentang penampilan dengan 'rasa nasi rames' trumpetis Chris Botti, disandingkan dengan "Musical happening" pianis Bred Mehldau yang tampil duo dengan Mark Guiliana. Saya simpan satu alinea ini: "Mehldau dan Guiliana menawarkan pesona lain, yaitu mengajak bertualang ke alam ketakterdugaan. Mereka seperti mengajak penonton berjalan-jalan masuk rimba nada. Menyibak lapis demi lapis lebatnya semak belukar dan menikmati pemandangan yang belum terlihat sebelumnya. Musisi jazz Idang Rasjidi menyebut petualangan musik mereka sebagai musical happening. Penikmat hanya perlu bekal harapan: apa yang terjadi terjadilah."

Setelah membaca enam puisi Goenawan Mohamad maka lengkaplah terjadi Minggu pagi saya yang bahagia.

Jumat, 13 Maret 2015

Buku Jadul Bersampul Gambar oleh Sriwidodo

Siang ini saya bermalas-malasan.
Saya melanjutkan membaca buku yang berjudul "Maut dan Misteri". Di sampul depan tertulis nama Trisno Sumardjo. Tetapi isinya adalah karangan Edgar Allan Poe. Pak Trisno adalah penerjemah. Buku ini dicetak tahun 1969, penerbit Djambatan. Ada keterangan "Rencana Sampul dan Gambar dalam oleh Sriwidodo." Di dalam buku ini ada empat buah gambarnya.


Saya kenal almarhum Pelukis Sriwidodo di tahun 1994. Ada banyak kenangan saya bersamanya. Saya mengenalnya sebagai pelukis abstrak.

Tiba-tiba saya kangen pada rumah di Condet. Pohon sawo di halaman pernah saya pindahkan ke kanvas. Saya sering terbayang matahari senja memerah ketika kami asyik berkumpul di gelaran tikar ruang tamu. Kami berempat ngobrol ngalor-ngidul. Mas Wid dan isterinya Mbak Yani sangat baik. Satu lagi teman baik adalah Steve Kamajaya, dia yang memperkenalkan saya kepada keluarga seniman di Condet ini. Ya, saya kangen semua.

Pagi gerimis.
Saya malas baca koran, tapi berita utama harian Kompas mesti dicatat, "RI Hadapi Ancaman Serius.-16 Warga Indonesia Ditangkap di Turki Saat Lintasi perbatasan".Berita ini berhubungan dengan NIIS.
Ada juga berita begal sadis yang ramai belakangan ini. Dunia penuh kekerasan.
Pagi gerimis. Saya merasa sedih.

Koran Kompas kemarin di rubrik Klasika-Obituari saya baca artikel "Puisi pada Nisan, Mengabadikan kenangan". Saya suka membacanya. Saya menyalin alinea penutupnya:

-Sebelum Patras meninggal ia mengukir sendiri di nisannya pesan darinya untuk dunia. Ini terjemahan dari sepenggal kutipannya, "Sejak masih kanak-kanak aku dipanggil Stan Ion Patras. Orang-orang yang baik mendengar ucapanku, dan aku tidak pernah mengatakan kebohongan. Sepanjang hidupku, aku tidak pernah bermaksud menyakiti orang lain. Hanya kebaikan, sebanyak yang bisa kuberi. "

Terima kasih Patras. Pagi masih gerimis.
Semoga akan ada lebih banyak kebaikan.

Rabu, 11 Maret 2015

Saya mencatat lagi, maka saya buat blog ini.

Tadi pagi saya buka lampiran e-mail dari teman penulis yang kini sedang ngegembel, sebuah cerpen yang berjudul "Pakar dan Pemakai Seks". Saya suka membacanya dan berharap bisa dimuat di koran yang dikiriminya. Saya turut berpengharapan. Jika dimuat pasti honornya bisa untuk memperpanjang hidupnya.

Tadi sore saya dengar radio mengabarkan bahwa kurs rupiah terhadap dolar melemah lagi. Satu dolar AS sekarang tiga belas ribu dua ratus lima puluh rupiah.

Saya berharap suatu saat bisa menjual lukisan saya dengan tarip dolar. Padahal saya selalu risau karena sekarang tidak bisa menjual karya saya.

Tadi siang anak bungsu saya menyarankan saya membuat blog.
Saya menulis lagi.